Blog ini digunakan guna berbagi segala jenis ilmu pengetahuan yang akan dipahami oleh semua kalangan terutama ilmu mengenai Hukum yang dipelajari di Indonesia

Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Ototritas Jasa Keuangan


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Perekonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh keberadaan lembaga perbankan. Perekonomian yang baik dapat diwujudkan dengan adanya sistem perbankan yang sehat. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit/pembiayaan dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[1]
Dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka program pembangunan ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Program pembangunan ekonomi nasional juga harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel yang berpedoman pada prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, program pembangunan ekonomi nasional perlu didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik yang secara terus menerus melakukan reformasi terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional.
Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, Negara senantiasa memberikan perhatian yang serius terhadap perkembangan kegiatan sektor jasa keuangan tersebut, dengan mengupayakan terbentuknya kerangka peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komprehensif.
Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.
Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
Oleh karena itu sangat diperlukan pengawasan dari suatu lembaga yang independen dari pengaruh pemerintah, di Indonesia lembaga tersebut bernama Bank Idonesia (BI) selaku Bank Sentral. BI adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.[2]
Dengan adanya Undang-Undang tentang BI ini pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. BI dalam melaksanakan tugasnya wajib menolak dan mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun. Pelanggaran terhadap larangan untuk melakukan campur tangan terhadap tugas BI, maupun Dewan Gubernur dan pejabat BI yang tidak menolak campur tangan pihak lain, dikenai ancaman pidana berat dan denda yang besar.[3]
Nampaknya fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap bank yang dimiliki BI akan berpindah kepada sebuah lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang bernama Otoritas Jasa Keuanagan (OJK) pada tahun 2010 sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 34 Unadang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Lembaga ini nantinya bertugas mengawasi industri perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Setelah adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011,pengaturan dan pegawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia sebagai bank sentral di negara kita dialihkan padaotoritas jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang indpenden dan bebas dari campurtangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-UndangNomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan:
(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan   sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang.
(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Sedangkan pengawasan yang dilakukan yaitu terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintahdan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerja sama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.
Independen OJK berkaitan dengan beberapa hal: yaitu pertama independen yang berkait dengan pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya administrative agencies yang dapat sewaktu waktu oleh Presiden karena jelas merupakan bagian dari eksekutif. Kedua, selain masalah pemberhentian yang terbebas dari intervensi Presiden, sifat independen juga tercermin dari :
1. kepemimpinan lembaga yang bersifat kolektif, bukan hanya satu orang pimpinan. Kepemimpinan kolegial ini berguna untuk proses internal dalam pengambilan keputusan-keputusan, khususnya menghindari kemungkinan politisasi keputusan sebagai akibatproses pemilihan keanggotaannya;
2. kepemimpinan tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan
3. masa jabatan para pemimpin lembaga tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).[4]
Dalam Undang-Undang tentang OJK, pimpinan tertinggi terletak pada Dewan Komisioner. Mengenai struktur Dewan Komisioner terdiridari 9 (Sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dengan susunan sebagai berikut:
a.       seorang ketua merangkap anggota;
b.      seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c.       seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d.      seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e.       seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
f.       seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g.      seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;
h.      seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
i.        seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.[5]
Calon Dewan Komisioner diusulkan oleh Presiden yang pemilihandan penentuannya dilaksanakan oleh Panitia Seleksi. Panitia Seleksi tersebut dibentuk dengan Keputusan Presiden dan beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat.
Setelah melakukan pengumuman calon anggota Dewan Komisioner kepada masyarakat, Panitia Seleksi melakukan penyaringan administrasi terhadap para calon yang telah mendaftar dan kemudian hasilnya disampaikan kepada Presiden untuk dipilih dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pola rekrutmen Dewan Komisioner OJK seperti ini menimbulkan pertanyaan, yaitu siapa saja yang menjadi Panitia Seleksi untuk mencari calon-calon yang memang qualified mengisi jabatan Dewan Komisioner OJK. Meskipun telah disebutkan Panitia Seleksi terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat, tetapi semua bergantung pada Presiden yang berwenang membentuk panitia Seleksi tersebut. Kualitas Dewan Komisioner yangakan dibentuk sangat bergantung pada proses awal seleksi oleh PanitiaSeleksi. Selain itu permasalahan lain yang timbul adalah mengenai kewenangan OJK itu sendiri yang sangat besar, melebihi apa yang diamanatkan oleh Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sebagailembaga independen yang melakukan pengawasan terhadap perbankan di Indonesia.
Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan suatu penelitian mengenai kedudukan Bank Indonesia setelah di keluarkannya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Maka dari itu, penulis mengangkat permasalahan ini kedalam sebuah tulisan berupa skripsi dengan jadul  KEWENANGAN BANK INDONESIA DI BIDANG PENGAWASAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN “.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A.  Tinjauan Umum Tentang Perbankan
1.    Pengertian Hukum Perbankan
Secara sederhana hukum perbankan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank baik kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam pelaksanaan usaha bank. Bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Sedangkan Muhammad Djumhana memberikan pengertian Hukum Perbankan sebagai berikut:[1]
Hukum Perbankan adalah sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan kelembagaan keuangan bank yang meliputi segala aspek dilihat dari segi esensi dan eksistensinya serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.

Sementara itu Munir Fuady juga mengemukakan pengertian Hukum Perbankan sebagai berikut:[2]
Hukum Perbankan adalah seperangkat kaedah hukum yang berbentuk dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan lain-lain sumber hukum yang mengatur masalah perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi suatu bank, prilaku petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut, dengan bisnis perbankan, apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan dan lain lain yang berhubungan dengan dunia perbankan.

Sedangkan Hermansyah berpendapat bahwa titik tolak dari pengertiansebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan kegiatan usahanya, maka hermansyah mendefenisikan Hukum Perbankan adalah:[3]
Keseluruhan norma-norma tertulis dan norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang bank mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan kegiatan usahanya. Norma-norma yang tertulis dimaksud adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bank sedangkan norma-norma yang tidak tertulis adalah hal-hal atau kebiasaan yang timbul dalam praktek perbankan.

Dari pendapat diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa Hukum Perbanakan yaitu kumpulan ketentuan hukum, yang meliputi peraturan hukum, asas-asas hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang mengatur segala sesuatu tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha perbankan.
2.    Sumber-Sumber Hukum Perbankan
Sumber Hukum Perbankan dapat dibedakan atas sumber hukum dalam arti formal dan sumber hukum dalam arti materil.Sumber hukum dalam arti materil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum itu sendiri, dan itu tergantung dari sudut mana dilakukan peninjauannya, apakah dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan lain sebagainya.[4]Adapun hukum dalam arti formal adalah tempat diketemukannya ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbankan.
Dalam kaca mata hukum nasional, hukum perbankan telah berkembang menjadi hukum sektoral dan fungsional, oleh karena itu hukum perbankan dalam kajiannya meniadakan perbedaan antara hukum publik dan hukum privat.Dari sudut sifatnya, struktur sifat kaedah hukum dapat dibedakan atas hukum imperatif (hukum yang bersifat memaksa) dan hukum fakultatif (hukum yang mengatur) perbedaan ini di dasarkan dari kekuatan sanksinya.
Di bawah ini disebutkan berbagai peraturan perundang undangan yang secara khusus mengatur atau yang berkaitan dengan masalah perbankan dan kebanksentralan, yang menjadi sumber hukum perbankan yang berlaku dewasa ini antara lain:
1.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
2.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimanatelah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
3.    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Nilai Tukar.
4.    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 7 TAhun 2009.
5.    Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
6.    Undang-Undang Nomor 21 TAhun 2008 tentang Perbankan Syariah.
7.    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang terutama mengenai Ketentuan dalam Buku I mengenai Surat-Surat berharga.
8.    Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selain itu ada beberapa faktor lain yang membantu pembentukan hukum perbankan, diantaranya perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah, ajaran hukum melalui peradilan yang terbuat atas putusan hakim, doktrin-doktrin hukum dan kebiasaan dan kelaziman yang berlaku pada perbankan.
3.    Asas-Asas Hukum Perbankan
Untuk mempelajari norma hukum, kita harus mengetahui asas-asas hukumnyan dengan perkataan lain, norma hukum itu tidak lahir dengan sendirinya, ia lahir dilatar belakangi oleh dasar-dasar filosofi tertentu. itulah yang dinamakan dengan asas-asas hukum. Dalam melaksanakan kemitraan antara bank dengan nasabahnya untuk terciptanya sistem perbankan yang sehat kegiatan perbankan perlu dilandasi oleh beberapa asas hukum yaitu:[5]
1.    Asas Demokrasi Ekonomi
Asas demokrasi ekonomi dijelaskan dalam pasal tersebut menyatakan bahwa perbankan Indonesia dalam melaksanakan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ini berarti fungsi dan usaha perbankan di arahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung didalam demokrasi ekonomi yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mengenai hal ini penjelasan umum Undang-Undang Perbankan 1992 menyatakan antara lain:
Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pncasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang bersaskan kekeluargaan, perlu senantiasa dipelihara dengan baik.Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi Pembangunan adalah perbankan. Peran yang strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, yang dengan berasaskan demokrasi ekonomi mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.[6]

Dengan demikian jelaslah bahwa perbankan dalam menjalankan fungsinya dan usahanya harus memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Demokrasi Ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus dihindarkan hal-hal sebagai berikut:[7]
a.    sistemfree fight liberalisme yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktur ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia.
b.    Sistem etalisme dalam arti bahwa Negara beserta aparatur Negara bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi diluar sektor Negara.
c.    Persaingan tidak sehat dan pemusatan ekonomi pada satu kelompok pada bidang berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita Nasional.
2.    Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle)
Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa suatu usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan kepadanya atas dasar kepercayaan sehingga setiap bank perlu menjga kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Kemauan masyarakat untuk menyimpan sebagian uangnya dibank semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa sewaktu-waktu uangnya akan dapat diperolehnya kembali sesuai dengan perjanjian dan disertai dengan imbalan. Apabila kepercayaan nasabah menyimpan dana pada telah berkurang, tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya rush terhadap dana yang disimpannya.
3.    Asas Kerahasiaan (Confidential Principle)
Asas kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan, kerahasiaan ini adalah untuk kepentingan bank sendiri karena bank memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyipan uang di bank. Masyarakat akanmempercayakan uangnya kepada bank atau memenfaatkan jasa bank apabila bank menjamin tidak akan ada penyalahgunaan pengetahuan bank tentang simpanannya. Dengan demikian bank harus memegang teguh rahasia bank.[8]
4.    Asas Kehati-Hatian (prudential principle)
Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal ini disebutkan dalan Undang-Undang Pebankan yang diubah bahwa perbankan indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Kemudian akan disebutkan pula dalam pasal 29 Undang-Undang Perbankan ayat 2 yang diubah bahwa:
Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

Dan pasal 29 ayat 3 juga menyatakan bahwa:

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian ini tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat, dengan kata lain agar selalu dalam keadaan likuid dan solvent. Dengan berlakunya prinsip kehati-hatian diharapkan kadarkepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya dibank.
B.  Tinjauan Umum Terhadap Bank Indonesia
1.    Dasar Hukum Pengaturan Bank Indonesia
Sebelum membahas masalah hukum dan ketentuan perbankan di Indonesia, terlebih dahulu kita perlu mengetahui dan mengikuti sejarah perkembangan perbankan di Indonesia, khususnya sejak jaman penjajahan belanda hinggga saat ini. hal ini penting karena perkembangan perbankan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan sejarah di Indonesia pada umumnya.
Pengetahuan tentang sejarah perbankan di Indonesia ini sangat penting, mengingat gejolak dan dinamika perkembangan perbankan di Indonesia sejak jaman penjajahan belanda sampai saat ini. selain itu juga perlu memahami mengapa masih terdapat ketentuan maupun hukum perbankan yang masih berupa peninggalan pemerintah kolonial belanda.
Disamping hal-hal tersebut di atas, sampai saat ini masih banyak istilah perbankan di Indonesia yang merupakan istilah peninggalan zaman belanda, misalnya istilah bilyet giro, rekening-courant ( rekening Koran), giroverkeer (lalu lintas giro), overbooking (pemindah bukuan), dan masih banyak lagi.
Pada periode kedudukan Belanda, bank di Indonesia didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda pada 1824 dengan nama Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), dan pemerintah Hindia-Belanda bertindak sebagai salah satu pemegang saham utama. Bank tersebut didirikan untuk untuk mengisi kekosongan akhibat likuidasi vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang, kendati telah menguasai hampir seluruh kawasan nusantara sekitar dua abad (1602 – 1799) , mengalami kebangkrutan . sekarang ini NHM telah berubah menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII).
Pemerintah Hindia-Belanda juga mendirikan De Javasche Bank (1827), kini Bank Indonesia (BI),dan NV Escomto Bank, sebuah bank swasta yang dikenal sebagai Bank Dagang Negara (BDN). Beberapa koperasi simpan – pinjam yang didirikan di kalangan petani pada 1895 di Purwekerto, pada 1934 digabungkan oleh pemerintah belanda ke dalam Algemeene Volksscrediet Bank (AVB).[9]
Periode awal kemerdekaan di Indonesia , setahun setelah kemerdekaan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1946 yang menegaskan lahirnya Bank Nasional Indonesia (BNI), yang peresmianya dilakukan pada 17 agustus 1946. Tugas BNI , sebagaimana tercantum dalam peraturanya adalah mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas bank disamping pemegang uang kas Negara. Pada kenyataannya tugas BNI adalah mengatur peredaran uang RI (ORI – Oerang Repoeblik Indonesia) sebagai uang kertas pemerintah, disamping menarik uang masa pendudukan jepang dan menggantinya dengan ORI.
Periode 1988 – Sekarang, pada tanggal 27 Oktober 1988 Menko Ekuin Radius Prawiro mengumumkan serangkaian kebijakan baru yang merupakan paket deregulasi dibidang keuangan moneter dan perbankan (KMP). Paket kebijakan ini lebih dikenal dengan sebutan Pakto 1988. Puncak dari periode ini adalah diberlakukanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada 25 maret 1992 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, yang sudah berumur 25 tahun. Isinya telah mengalami perubahan dan penyempurnaan dari isi aslinya.[10]
Menurut pasal 1 Undang-Undang No.7 Tahun 1992, pengertian Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan baik untuk disalurkan maupun digunakan untuk tujuan lain.
Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang sekaligus dapat berdampak kurang menguntungkan. Sementara itu, perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan dibidang ekonomi termasuk sektor Perbankan sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkukuh perekonomian nasional.
Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem Perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual melainkan juga penyehatan sistem Perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank itu sendiri dan masyarakat pengguna jasa bank.
Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan Perbankan nasional sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.
Maka dari itu adanya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Uomor7 Tahun 1992 dikarenakan perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk Perbankan dan dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasi beberapa perjanjian internasional dibidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan dibidang perekonomian khususnya sektor Perbankan.
Didalam perubahan Undang-Undang ini terdapat sedikit perbedaan mengenai pengertian perbankan, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pengertian dari Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dapat kita lihat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ayat 1 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, pengertian Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Disamping itu peranan perbankan sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu Negara. Bank dapat diartikan sebagai darahnya perekonomian suatu Negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bank disuatu Negara dapat pula dijadikan ukuran kemajuan Negara yang bersangkutan. Semakin maju suatu Negara, maka semakin besar peranan perbankan dalam mengendalikan Negara terssebut. Artinya keberadaan dunia perbankan semakin dibutuhkan pemerintah dan masyarakatnya.
Lain halnya di Negara – Negara berkembang, seperti Indonesia, pemahaman tentang bank di Negeri ini baru sepotong – sepotong. Sebagian masyarakat hanya memahami bank sebatas tempat meminjam dan menyimpan uang belaka. Bahkan terkadang sebahagian masyarakat sama sekali belum memahami bank secara utuh, sehingga pandangan tentang bank sering diartikan secara keliru. Selebihnya banyak masyarakat yang tidak paham sama sekali tentang dunia perbankan. Semua ini tentu dapat dipahami karna pengenalan dunia perbankan secara utuh terhadap masyarakat sangatlah minim, terlepas dari kurang pahamnya pengelola perbankan di Tanah air dalam memahami dunia perbankan secara utuh.
Dalam dunia modern sekarang ini, peranan perbankan dalam memajukan perekonomian suatu Negara sangatlah besar. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan semua kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank. Oleh karena itu disaat ini dan dimasa yang akan datang kita tidak akan lepas dari dunia perbankan, jika hendak menjalan aktivitas keuangan, baik per-orangan maupun lembaga, baik sosial atau perusahaan.
Begitu pentingnya dunia perbankan,sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan “nyawa” untuk menggerakkan roda perekonomian suatu Negara. Anggapan ini tentunya tidak salah, karena fungsi bank adalah sebagai lembaga keuangan sangatlah vital, misalnya dalam hal penciptaan uang, mengedarkan uang, menyediakan uang untuk menunjang kegiatan usaha, tempat mengamankan uang, tempat melakukan investasi dan jasa keuangan lainya.[11]
Pada mulanya dasar hukum pengaturan tentang Bank Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-Pokok Bank Indonesia sebagai pengganti Javache Bank tahun 1922. Namun dengan berlakunya Undang-Undang ini walaupun Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dan juga dapat melakukan kegiatan operasional sebagai bank komersial.Sejalan dengan politik hukum kebanksentralan sebagaimana diamanatkan dalam ketetapan MPRS Nomor/III/MPRS/1966, pemerintah mengajukan rancangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.Sejak keberadaan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hingga Tahun 1968, tugas Bank Indonesia masih tetap berfungsi ganda.Dan kedua Undang-Undang tidak memberikan independensi terhadap Bank Indonesia. Bertitik tolak dari keadaan tersebut, dengan mengacu kepada ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998, ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 pada tanggal 17 Mei 1999 ditetapkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 memberikan independensi Bank Indonesia Serta bebas campur tangan pihak lain. Kemudian dalam rangka penataan kembali kelembagaan Bank Indonesia sebagai penanggung jawab otoritas kebijakan moneter dan dengan mengacu kepada ketentuan dalam pasal 13D Undang-Undang Dasar 1945, ditetapkanlah perubahan pertamaterhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
2.    Status Dan Kedudukan Bank Indonesia
Pengaturan independensi BI telah ditetapkan dalam UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004. Sesuai undang-undang, BI adalah lembaga Negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah atau pihak lain. Tujuan BI difokuskan pada kestabilan nilai rupiah dengan tugas- tugas kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Demikian pula, kewenangan dan akuntabilitas BI telah diatur secara jelas dalam undang-undang. Independensi kelembagaan ini bukan berarti bahwa BI adalah suatu Negara karena independensi dimaksud hanya terbatas pada tugas dan wewenang yang  ditetapkan dalam undang-undang. BI tetap tunduk pada segala ketentuan hukum di Indonesia atas hal-hal yang bukan merupakan cakupan tugas dan wewenang yang diatur dalam undang-undang BI.[12]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 TAhun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pasal 4 ayat (1) mendefenisikan: “Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia”.

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral merupakan lembaga negara atau badan hukum publik yang di beri wewenang dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan menetapkan peraturan serta mengenakan sanksi dalam batas wewenangnya. Sebagai badan hukum publik yang diberi wewenang tersendiri, maka dalam melakukan kegiatannya Bank Indonesia memiliki independensi diluar tugas pemerintah dan lembaga lainnya, kecuali yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Sebagai dalam hukum publik yang mandiri atau independen, maka lembaga atau badan lainnya tidak dapat melakukan campur tangan dalam segala bentuk dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia tersebut. Dan begitu pula sebaliknya, Bank Indonesia wajib untuk mengabaikan segala bentuk campur tangan pihak lain.
Namun dalam kemandiriannya tersebut, Bank Indonesia juga mempunyai akuntabilitas publik yaitu mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan koordinasi dengan pemerintah dalam perumusan kebijakan moneternya.Untuk itu, Bank Indonesia diwajibkan menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR dalam rangka akuntabilitas dan kepada pemerintah sebagai informasi.Dalam hubungannya dengan BPK, Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan keuangan kepada BPK untuk dilakukan pemeriksaan dan laporan hasil pemeriksaan dimaksud disampaikan kepada DPR. Dalam rangka memenuhi asas transparansi, Bank Indonesia diwajibkan menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulan tersebut kepada masyarakat luas melalui media massa dengan menyampaikan ringkasannya dalam Berita Negara.[13]
3.    Tujuan dan Tugas Pokok Bank Indonesia
Tujuan Bank Indonesia ditetapkan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksudkan dalam Undang-Undang tersebut adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan atau tercermin pada perkembangan laju inflasi. Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur berdasarkan atau tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah (kurs) terhadap mata uang negara lain.
Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kenaikan harga-harga (inflasi) yang tinggi dan terus menerus akan menurunkan daya beli masyarakat, khususnya yang mempunyai pendapatan tetap, sehingga tingkat kesejahteraannya menurun. Demikian pula, nilai tukar rupiah yang terus melemah, meskipun mungkin dapat meningkatkan pendapatan neto dari perdagangan luar negeri, khususnya barang dan jasa yang harus di impor dari luar negeri. Ketidakstabilan inflasi dan nilai tukar rupiah menyebabkan dunia usaha dan para pelaku ekonomi akan mengalami kesulitan dalam menyusun perencanaan usahanya. Pada akhirnya, hal ini akan mengakibatkan fluktuasi perkembangan ekonomi secara keseluruhan yang berakibat buruk pada kesejahteraan masyarakat.
Penetapan tujuan tunggal pemeliharaan stabilitas nilai rupiah dalam Undang-Undang seperti diatas menjadikan sasaran yang harus dicapai dan batas tangguang jawab Bank Indonesia tidak mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.Dalam mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia perlu mengarahkan kebijakannya untuk menyeimbangkan kondisi ekonomi internal, khususnya keseimbangan antara permintaan dan penawaran agregat, dengan kondisi ekonomi eksternal yang tercermin pada kinerja neraca pembayaran.Perwujudan keseimbangan internal adalah terjaganya inflasi pada tingkat yang rendah, sementara dari sisi eksternal adalah terjaganya nilai tukar rupiah pada tingkat perkembangan yang cukup kuat dan stabil.Untuk itu, Bank Indonesia harus mempertimbangkan dan melakukan koordinasi dengan pemerintah agar kebijakan yang ditempuhnya sejalan dan saling mendukung dengan kebijakan fiskal dan ekonomi lainnya.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka Bank Indonesia mempunyai tiga tugas pokok yaitu:[14]
a.       Menetapkan  dan melaksanakan kebijakan moneter
Rincian tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 10 UU BI:
Ayat (1): Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Bank Indonesia berwenang:
1.      Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi;
2.      Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a)      Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
b)      Penetapan tingkat diskonto;
c)      Penetapan cadangan wajib minimum;
d)     Pengaturan kredit atau pembiayaan.
Ayat (2): Cara-cara pengendalian moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilaksanakan juga berdasarkan prinsip syariah.
Ayat (3): pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) huruf b dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Dari ketentuan di atas dapat dapat dilihat bahwa berbagai kebijakan Bank Indonesia dalam mengelola moneter dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).Sebagai lembaga Negara PBI tersebut diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI).
Dalam kaitannya dengan melaksanakan kegiatan tugas moneter dalam Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tanggal 13 Oktober 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-undang, dikemukakan sebagai berikut:
(1)   Bank indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu yang paling lama 90 (sembilan puluh) hari keoada bank untuk mengatasi kesulitan pendapatan jangka pendek bank yang bersangkutan.
(2)   Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerimadengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.
(3)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan bank indonesia.
(4)   Dalam suatu hal mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, bank indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaanya menjadi beban pemerintah.
(5)   Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang berdampak sistematik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan belanja negara diatur dalam undang-undang tersendiri.
                  Ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari ketentuan pasal 11 UU No. 6/2009 di atas yakni: pertama, bank indonesia dapat memberikan kredit kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek (PJP).[15] Apa kriteria bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek dalam undang-undang ini tidak dijelaskan. Hanya saja, dalam ketentuan selanjutnya dikemukakan bank yang mendapatkan kredit wajib memberikan agunan.Jadi tampak disini, BI sebagaipemberi kredit (kreditor) dan bank penerima kredit (debitor) wajib memberikan agunan.
Hal kedua dalam kaitanya dengan pemberian kredit oleh BI dalah bank yang mengalami kesulitan yang berdampak sistemik, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat (FDP). Dalam Undang-Undang ini pun tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan berdampak sistemik. Hal ini tentu dapat menjadi perdebatan tersendiri, apa kriteria suatu krisis disebut mengandung dampak sistemik. Jikapun harus dianalisis, tentu bagi Bank Indonesia membutuhkan waktu, sementara bank membutuhkan bantuan dana secara cepat. Bantuan ini diperlukan dalam menanggulangi dana yang disimpan oleh masyarakat. Dalam Undang-Undang ini hanya disebutkan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank indonesia.
b.      Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
      Tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, antara lain diatur dalam Pasal 15 UU BI. Dalam ketentuan ini dikemukakan Bank Indonesia berwenang:[16]
1.      Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran;
2.      Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya;
3.      Menetapkan penggunaan alat pembayaran.
      Selanjutnya dalam Pasal 16 UU BI dikemukakan: Bank Indonesia berwenang mengatur sistem kliring antara bank dalam mata uang rupiah atau valuta asing. Tugas lainnya dijelaskan dalam Pasal 17 UU BI.Dalam ketentuan ini dikemukakan, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran. Selanjutnya dikemukakan:
1.      Satuan mata uang Negara Republik Indonesia adalah rupiah dengan singkatan Rp.
2.      Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia.
3.      Setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilaya Negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah, kecuali apabila ditetapkan lain dengan Peraturan Bank Indonesia.
4.      Setiap orang atau badan yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia dilarang untuk menerima uang rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang kecuali ditentukan lain oleh BI.
      Apa yang dijabarkan dalam ketentuan di atas dapat diketahui, dalam menyelenggarakan jasa sistem pembayaran dibutuhkan izin dari Bank Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, mengigat dalam menyelenggarakan jasa sistem pembayaran, selain menggunakan teknologi canggih, juga dibutuhkan sumber daya manusia yang handal.Dengan terpenuhinya berbagai instrumen dalam penggunaan jasa sistem pembayaran dapat dicegah sedini mungkin kerugian yang dapat saja menimpa masyarakat yang menggunakan fasilitas jasa pembayaran yang dimaksud. Hal lain yang juga tidak kalah menarik untuk dikaji lebih seksama adalah mengenai alat bayar yang digunakan di wilayah Republik Indonesia adalah Rupiah (Rp). Dengan demikian dalam dalam transaksi dilaksanakan di indonesia secara resmi menggunakan uang rupiah.
c.       Mengatur dan mengawasi bank
      Terkait dengan tugas mengatur dan mengawasi bank, tampaknya pembuat Undang-Undang ingin memisahkan antara tugas mengatur dan mengawasi dipisahkan. Dengan kata lain tugas mengatur bank diberikan kepada Bank Indonesia. Sedangkan tugas mengawasi bank diberikan kepada lembaga yang khusus di bentuk untuk itu.Bahkan pendirian lembaga pengawas jasa keuangan tersebut secara limitatif telah ditegaskan dalam undang-undang Bank Indonesia harus sudah didirikan paling lambat pada akhir tahun 2010. Hal ini dengan dijabarkan dalam Pasal 34 UU BI:
(1)   Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
(2)   Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
C.  Tinjauan Umum Tentang Otoritas Jasa Keuangan
1.   Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan atau yang disingkat (OJK), adalah lembaga yang menyelenggarakan fungsi pemerintah dalam rangka mengatur dan mengawasi kegiatan sektor jasa keuangan,[17] setiap pihak dilarang campur tangan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan. Maksudnya adalah bahwa untuk menjamin terselenggarakannya pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang optimal, Otoritasa Jasa Keuangan harus dapat bekerja secara independen dalam membuat dan menerapkan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Oleh karena itu, setiap pihak kecuali pihak sebagaimana dimaksud dalam rancangan undang-undang Otoritas Jasa Keuangan ini, tidak diperkenankan untuk turut campur, baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan.
Selain itu, Otoritas Jasa keuangan pada prinsipnya pengawasan regulasi untuk berbagai lembaga keuangan mulai bank, asuransi, multifinance, kemudian pasar modal, bursa berjangka, pengaturan dan supervisinya disatukan disatukan, Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulatornya.
Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (Otoritas Jasa Keuangan) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di Indonesia yg perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan Otoritas Jasa Keuangan tersebut. Pada dasarnya OJK mempunyai fungsi dan tujuan dalam pembentukannya, seperti yang sudah dijelaskan dalam pengertian OJK sendiri.Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank.
2.   Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan
Mengenai kedudukan dari Otoritas Jasa Keuangan ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, yaitu Otoritas Jasa Keuangan bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada BPK dan DPR. Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya itu, Otoritas Jasa Keuangan bertanggung jawab kepada Presiden.[18]
Keberadaan Otoritas Jasa keuangan akan membantu Kementerian Keuangan (dahulu Depkeu) dalam memfokuskan tugasnya pada fungsi fiskal, yaitu mengurus masalah penerimaan dan pengeluaran negara serta mengelola kekayaan negara dan piutang negara.
OJK adalah lembaga yang menyelenggarakan fungsi pemerintah dalam rangka mengatur dan mengawasi kegiatan sektor jasa keuangan, setiap pihak dilarang campur tangan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK maksudnya adalah bahwa untuk menjamin terselenggaranya pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang optimal, OJK harus dapat bekerja secara independen dalam membuat dan menerapkan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Oleh karena itu, setiap pihak kecuali pihak sebagaimana dimaksud dalam RUU OJK ini, tidak diperkenankan untuk turut campur baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK.
Keberadaan OJK akan membantu Depkeu dalam memfokuskan tugasnya pada fungsi fiskal, yaitu mengurus masalah penerimaan dan pengeluaran negara serta mengelola kekayaan negara dan piutang negara.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK perlu melakukan koordinasi dengan beberapa lembaga seperti BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), serta Menteri Keuangan bahkan Presiden agar nanti kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan OJK dapat efektif dan efisien dalam memecahkan permasalahan di sektor keuangan.
3.    Kewenangan dan Fungsi Otoritas Keuangan dalam Sistim Keuangan Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang tentang Bank Indonesia beserta penjelasannya dapat disimpulkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan bertugas mengawasi bank, lembaga-lembaga usaha peransuransian, lembaga-lembaga usaha pasar modal, dana pensiun, lembaga-lembaga usaha pembiayaan, modal ventura, dan lembaga-lembaga lain yang mengelola dana masyarakat. Dengan demikian OJK akan mengambil alih sebagaian tugas dan wewenang Bank Indonesia. Directorat Jendral Lembaga Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal, dan institusi-institusi pemerintah lain yang selama ini mengawasi lembaga pengelola dana masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan: [19]
1.    Asas Kepastian Hukum
Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
2.    Asas Kepentingan Umum
Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodasi, dan selektif.
3.    Asas keterbukaan
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskrimatif tentang penyelenggaraan OJK dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
4.    Asas Profesionalitas
Adalah asas yang mengutamakan keahlian dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.    Asas Akuntabilitas
Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut: [20]
1.    Mengatur dan mengawasi pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan yang diselenggarakan Lembaga Jasa Keuangan.
Yang termasuk mengatur dan mengawasi pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan yang diselenggarakan Lembaga Jasa keuangan adalah:
a.    Membuat peraturan di bidang jasa keuangan;
b.    Melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan;
c.    Mewajibkan penyampaian informasi, dokumen, dan laporan kepada Otoritasa Jasa Keuangan;
d.   Mengeluarkan perintah tertulis;
e.    Melakukan pemeriksaan berkala;
f.     Menunjuk Pengelola Statuter dan melakukan tindakan dalam rangka pemberesan;
g.    Mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio usaha;dan
h.    Melakukan penyidikan.
2.    Menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan.
Penegakan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif sehingga peraturan tersebut berdaya guna dan berhasil guna.
3.    Melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan pemahaman dan memelihara kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan. Pemahaman publik yang baik terhadap sektor jasa keuangan akan membuat masyarakat dapat lebih mampu mengendalikan dan melindungi diri sendiri dalam bertransaksi di bidang jasa keuangan. Kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan akan tumbuh dan terpelihara apabila sektor jasa keuangan tersebut menjadi sehat, kompetitif, stabil, dan aman.
4.    Melakukan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan yang wajar terhadap konsumen dari sektor jasa keuangan. Pemberian perlindungan kepada konsumen sangat penting untukmenumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Otoritas Jasa Keuangan.
5.    Mengurangi tingkat kejahatan keuangan.


[1]Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: Alumni, 1993, hlm. 10
[2]Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek Buku Kesatu, Bandung (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), Citra Aditya Bakti, hlm. 14
[3] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada, 2003, (selanjutnya disingkat Hermansyah I), hlm.39
[4] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, 1992, hlm.19
[5]Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, (selanjutnya disingkat Rachmadi Usman I), hlm. 14
[6]Paragraf 1 dan 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[7] Rachmadi Usman I, Op.cit, hlm. 15
[8]Ibid, hlm. 16
[9] Wijanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia,penerbit Grafiti Cetakan ke.III ,Jakarta Januari 1997. Hlm 3.
[10] Ibid hal.29 - 43
[11] Kasmir ,SE,MM ,Dasar – Dasar Perbankan,cet . l Jakarta ,juni 2002 hlm,1-2
[12] F.X Sugiyono dan Ascarya, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah Pengantar: Kelembagaan Bank Indonesia, Pusat pendidikan dan studi kebanksentralan Bank Indonesia, 2004, hlm. 43-44.

[13] Warjiyo perry,2004,”Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Jakarta, hlm. 27-28.
[14] DR. Sentosa Sembiring, “Hukum Perbankan”, Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2000. hlm. 269
[15] Ibid. hlm. 271
[16]Ibid. hlm. 272
[17] Pasal 3 dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan
[18]Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
[19]Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Niaga Swadaya, Jakarta, 2014, hlm. 97
[20]Ibid., hlm. 98-99


[1]Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, UU Nomor 10 Tahun 1998, psl 1angka 2.
[2]Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Perubahan Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
[3]Didik J. Rachbini Ph.D dan Suwidi Tono, Bank Indonesia menuju Independensi Bank Sentral (Jakarta: PT. Mardi Mulyo, 2000) hal. 167
[4]Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 3, September 2009,hlm. 152.

[5]Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Penggelapan (Buku II Bab XXIV KUHP)

BAB XXIV PENGGELAPAN Pasal 372 Baragsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian a...

Pages

Ads by Google

Get This Pop-up Window

Your Adsesne Code Here


http://fadhliihsan92.blogspot.com

Search This Blog

Powered by Blogger.

Blog Archive