BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari segala permasalahan dan
dinamika sosial yang muncul di dalam kehidupan masyarakat tersebut. Pelacuran
sebagai gejala sosial disebabkan oleh berbagai faktor yang melekat dalam
kehidupan manusia. Faktor yang mendorong pelacuran terletak baik pada aspek
kodrati manusiawi terutama yang berhubungan dengan bio-psikologi, khususnya
nafsu sexsual manusia, pria dan wanita, serta faktor-faktor luar yang
mempengaruhi seperti faktor sosial, ekonomi, kebudayaan, yang saling terkait
sedemikian rupa, sehingga prostitusi berlangsung terus – menerus dari masa ke
masa sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Prostitusi
atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang
panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh norma-norma
perkawinan, sudah ada pelacuran sebagai salah satu penyimpangan dari pada
norma-norma perkawinan tersebut) dan tidak ada habis – habisnya yang terdapat
di semua negara di dunia. Walaupun prostitusi sudah ada sejak dulu, namun
masalah prostitusi yang dulu dianggap tabu atau tidak biasa. Pada jaman
sekarang prostitusi oleh masyarakat Indonesia dianggap menjadi sesuatu yang
biasa.
Pelacuran atau prostitusi
adalah penjualan jasa seksual untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut
dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau
menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang
buruk, malah jahat, namun dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini
didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu
seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran
itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa
perempuan mana saja.[1]
Praktik prostitusi merupakan salah satu gejala sosial yang masih
menjadi perdebatan di tengah masyarakat mengenai dampak positif dan negatif dari
keberadaannya tersebut. Bukan hanya mempengaruhi moral kehidupan masyarakat
tersebut, namun dapat juga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya
tindak pidana, seperti tindak pidana perkosaan dan pembunuhan yang rentan
terjadi pada pelaku praktik prostitusi tesebut.
Pada
dasarnya keterwujudan keadilan yang merupakan tujuan dari adanya hukum dapat
dilihat dan dinilai dari terciptanya keamanan dan ketertiban yang dapat
menjamin kebebasan setiap orang dalam menggunakan hak dan melaksanakan
kewajibannya, namun juga sekaligus mengawasi kebebasan tersebut agar tidak
menganggu kebebasan dan kepentingan orang lain. Ketertiban yang menjadi perwujudan
tujuan dari hukum tersebut terbentuk dari tercapainya kepastian hukum dengan
adanya aturan hukum yang mengatur segala tindakan masyarakat. Keberadaan praktik prostitusi pun
selayaknya tidak terlepas dari adanya ketentuan hukum yang mengaturnya sehingga
tercapai kepastian hukum sebagai jalan menuju terciptanya ketertiban dalam
masyarakat tersebut. Keberadaan prostitusi di kota – kota besar dinilai sebagai
sesuatu yang sudah menjadi kebutuhan dari masyarakat tersebut. Hal ini memang
dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat tersebut.
Begitu juga dengan keberadaannya di Kota Padang.
Keberadaan
praktik prostitusi di Kota Padang mendapat perlakuan khusus dari pemerintah
setempat. Hal ini ditandai dengan lahirnya peraturan perundang – undangan dalam
bentuk Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11
Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Sebagaimana yang
terdapat pada Pasal 10 ayat (2) berbunyi : “Setiap orang dilarang menjajakan
dirinya sebagai pelacur atau berupaya mengadakan transaksi seks.” Di samping itu,
dalam Perda Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat tersebut juga memuat mengenai Ketentuan Pidana pada BAB
XI, Pasal 14 yang berbunyi : Pelanggaran atas ketentuan Pasal 2, 3, 4, 6 ayat (2),
(3), (4), (5), dan ayat (6), 8 ayat (1) dan ayat (2), 9 dan Pasal 10, diancam
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp
5.000.000,- (lima juta rupiah).
Berdasarkan
ketentuan Perda Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 ini,
maka dapat dikatakan bahwa praktik prostitusi telah dinyatakan sebagai tindak
pidana, atau dengan kata lain telah dilakukan kriminalisasi terhadap tindak
prostitusi tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ketentuan mengenai
prostitusi belum pernah ada di dalam ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana, sehingga tindak prostitusi tidaklah dinyatakan sebagai tindak pidana. Kriminalisasi
yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku
kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan
interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran
terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan
perundang-undangan.[2]
Sebagaimana
yang kita ketahui dan dapat kita lihat adalah dalam penerapan ketentuan Perda
Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 ini jelas belum
maksimal. Hal ini ditandai dengan keberadaan komplek atau beberapa ruangan yang
saling berdekatan dan digunakan untuk praktik prostitusi, yakni di komplek
Pasar Raya Kota Padang lantai 2 (dua). Keberadaan komplek prostitusi ini telah
ada jauh sebelum lahirnya ketentuan hukum, Perda Kota
Padang Nomor 11 Tahun 2005 ini. Namun setelah ±
4 (empat) tahun Perda ini diberlakukan, ternyata masih tidak dapat menghapuskan
keberadaan lokasi prostitusi di komplek Pasar Raya Kota Padang lantai 2 (dua)
ini.
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan
judul: “PENERAPAN PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT TERHADAP KRIMINALISASI
PRAKTIK PROSTITUSI DI KOTA PADANG”
1. Kerangka
Teoritis
Perbudakan
seksual perempuan hadir di semua situasi di mana perempuan tak dapat mengubah
kondisi langsung keberadaan mereka; di mana terlepas dari bagaimana mereka
masuk ke dalam kondisi – kondisi tersebut, mereka tak dapat keluar darinya; dan
di mana mereka menjadi objek kekerasan dan eksploitasi seksual. Artinya bahwa
integritas perempuan sebagai seorang manusia, sebagai seorang individu, sebagai
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, telah
dipecahkan.[1]
Keberadaan
praktik prostitusi tidak terlepas dari peranan negara melalui segala aturaan
hukum yang dapat dibuatnya. Bagi pelacur, kenyataan yang ada bahwa sementara
negara dan pemerintahan setempat mengklaim dirinya merupakan pelindung tata
hukum dan moral, pada saat yang sama mereka mengeruk keuntungan dari kerja kaum
pelacur melalui pajak yang dibebankan pada
rumah – rumah bordil dan pusat – pusat hiburan, dan melalui denda yang
dikenakan pada pelacur jalanan.[2]
Adanya
ketentuan hukum yang mengatur keberadaan praktik prostitusi ini diharapkan
mampu menciptakan kepastian hukum sebagai jalan menuju terciptanya ketertiban
dalam masyarakat tersebut. Sebagaimana pengaturan dalam Peraturan Daerah Kota
Padang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat,
telah secara jelas menyatakan keberadaan praktik prostitusi di Kota Padang
sebagai suatu tindak pidana.
Menurut
Simons (Hazewinkel-Suringa. 1973 : 65), bahwa strafbaar feit (terjemahan harafiyah : peristiwa pidana) ialah
perbuatan yang melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan seseorang yang
mampu bertanggung jawab.[3]
Di
samping itu, Vos (1950 : 25) memberikan definisi yang singkat bahwa strafbaar feit ialah kelakuan atau
tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang – undangan diberikan pidana.[4]
Pada
dasarnya keterwujudan keadilan yang merupakan tujuan dari adanya hukum dapat
dilihat dan dinilai dari terciptanya keamanan dan ketertiban yang dapat
menjamin kebebasan setiap orang dalam menggunakan hak dan melaksanakan
kewajibannya, namun juga sekaligus mengawasi kebebasan tersebut agar tidak
menganggu kebebasan dan kepentingan orang lain.
Eksistensi
hukum pidana pada dasarnya meliputi nilai – nilai pokok :
1. Keamanan
dan ketertiban sebagai tujuan langsung setiap hukum pidana, yang mutlak harus
dapat dicapai.
2. Kesadaran
warga masyarakat akan makna dan hakikat hukum yang kemudian dapat menjadi
sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah, sebagai
tujuan akhir hukum pidana.
3. Keserasian
antara kejasmanian (aspek lahir) dan kerohanian (aspek batin) maupun kebaruan
dan kelestarian harus dicapai dalam penerapan hukum pidana.[5]
Dari
segi batin, hukum pidana sebagai suatu perasaan pikiran atau kehendak yang yang
tersembunyi dalam kalbu masing – masing orang dan tidak mungkin terlihat
seluruhnya oleh orang dalam hukum pidana berwujud sebagai kesalahan yang harus
dipertanggungjawabkan oleh pelaku peristiwa pidana, setimpal dengan kerugian
yang telah diakibatkan dengan segala latar belakangnya.
Hukum
pidana itu pada dasarnya menjamin ketertiban kehidupan masyarakat, dalam arti
mengutamakan pengaturan kepentingan umum di atas kepentingan individu tertentu.
Hukum
pidana bertujuan untuk dapat membina kesadaran umum dalam bersikap dan
bertindak yang serasi baik berdasarkan aspek lahir maupun aspek batin, karena
hanya dengan sikap tindak yang demikian sajalah keentingan umum maupun
kepentingan perorangan secara langsung dapat terjaga dan terlindungi dari
berbagai gangguan peristiwa pidana.
2. Kerangka
Konseptual
Untuk lebih
terarahnya penulisan proposal ini, di samping perlu adanya kerangka teoritis
juga diperlukan kerangka konseptual yang merumuskan definisi-definisi dari
peristilahan yang digunakan sehubungan dengan judul yang diangkat, yaitu:
a.
Pelacuran
Pelacuran atau yang dikenal juga dengan istilah prostitusi merupakan pertukaran
hubungan seksual dengan uang atau atau hadiah – hadiah sebagai suatu transaksi
perdagangan.[6]
Menurut Encyclopedia Britannica (1973–74),
pelacuran adalah praktek hubungan seksual sesaat yang kurang lebih dilakukan
dengan siapa saja (promiskuitas), untuk imbalan berupa upah. Dengan demikian
pelacuran diidentikkan dengan tiga unsur utama : pembayaran, promiskuitas, dan
ketidakacuhan emosional.[7]
b.
Kriminalisasi
Kriminalisasi adalah proses yang
memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana,
tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.[8]
c. Pidana dan
pemidanaan
Dalam Bahasa
Belanda, istilah pemidanaan
dan penghukuman disebut dengan Straf. Ada
para ahli yang
menyebut pidana, ada
juga yang menyebut
dengan hukuman. Pidana
dan hukuman dalam
pengertian umum berarti suatu
sanksi yang membuat
derita atau nestapa
yang sengaja ditimpakan kepada
seseorang.
Prof.
W.P.J Pompe, menyatakan
pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan
yang sedikit banyak bersifat
umum yang di
abstrahir dari keadaan yang bersifat konkret.[9]
Prof.
Van Hamel,
menyatakan arti dari pidana
adalah suatu
penderitaan khusus, yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan
yang berwenang untuk menjatuhkan pidana
atas nama negara
sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum
umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata
karena orang tersebut telah
melanggar suatu peraturan
hukum yang harus
ditegakkan oleh negara.[10]
Prof. Simons,
menyatakan pidana atau
straf adalah suatu
penderitaan yang oleh Undang-undang
pidana telah dikaitkan
dengan pelanggaran terhadap suatu
norma, yang dengan suatu
putusan hakim telah
dijatuhkan bagi seseorang yang
bersalah.[11]
Algraa
Janssen, merumuskan pidana atau straaf sebagai alat yang yang dipergunakan oleh
penguasa (hakim) untuk
memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang
tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali
sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa,
kebebasan, dan harta kekayaannya yaitu seandainya ia tidak melakukan suatu
tindak pidana.[12]
Van
Kant, mengatakan bahwa hukum pidana mengancam pidana kepada pelanggar hukum
dengan penderitaan yang
khusus dan menjatuhkan penderitaan pidana
itu kepada pelanggar.[13]
Dari rumusan
di atas dapat diketahui
pidana hanya merupakan
suatu penderitaan atau suatu
alat belaka. Ini
berarti pidana hanya
merupakan suatu tujuan
dan tidak mungkin
dapat mempunyai tujuan.
Hal tersebut perlu dijelaskan agar orang Indonesia jangan
sampai terbawa arus kacaunya cara berpikir para ahli Belanda, yang secara
harfiah telah menerjemahkan perkataan doel
der straf dengan tujuan dari pidana padahal sebenarnya tujuan dari
pemidanaan.
Prof.
Roeslan Saleh, SH mengatakan pidana adalah reaksi
atas delik yang
banyak berwujud nestapa yang sengaja
ditimpakan negara pada
pembuat delik.[14]
[1] Thanh-Dam Truong. Seks, Uang dan Kekuasaan. Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta.
1992. Hlm. 18
[3] Prof. Dr. A. Zainal
Abidin Farid, S.H. Hukum Pidana I,
Sinar Grafika, Jakarta. 1995. Hlm. 244
[5] Purnadi Purbacaraka,
S.H. dan A.Ridwan Halim, S.H. Filsafat
Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, Rajawali Pers, Jakarta. 1995. Hlm. 1
[6] Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1990. Hlm. 703
[7] Thanh-Dam Truong. Seks, Uang dan Kekuasaan. Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta.
1992. Hlm. 15
[9] P.A.F Lamintang. Dasar-Dasar
Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1997. hlm. 3.
0 comments:
Post a Comment