Blog ini digunakan guna berbagi segala jenis ilmu pengetahuan yang akan dipahami oleh semua kalangan terutama ilmu mengenai Hukum yang dipelajari di Indonesia

Tinjauan Hukum Terhadap Kriminalisasi Praktik Prostitusi Di Kota Padang Terkait Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari segala permasalahan dan dinamika sosial yang muncul di dalam kehidupan masyarakat tersebut. Pelacuran sebagai gejala sosial disebabkan oleh berbagai faktor yang melekat dalam kehidupan manusia. Faktor yang mendorong pelacuran terletak baik pada aspek kodrati manusiawi terutama yang berhubungan dengan bio-psikologi, khususnya nafsu sexsual manusia, pria dan wanita, serta faktor-faktor luar yang mempengaruhi seperti faktor sosial, ekonomi, kebudayaan, yang saling terkait sedemikian rupa, sehingga prostitusi berlangsung terus – menerus dari masa ke masa sepanjang sejarah kehidupan  manusia.
Prostitusi atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh norma-norma perkawinan, sudah ada pelacuran sebagai salah satu penyimpangan dari pada norma-norma perkawinan tersebut) dan tidak ada habis – habisnya yang terdapat di semua negara di dunia. Walaupun prostitusi sudah ada sejak dulu, namun masalah prostitusi yang dulu dianggap tabu atau tidak biasa. Pada jaman sekarang prostitusi oleh masyarakat Indonesia dianggap menjadi sesuatu yang biasa.
Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa perempuan mana saja.[1]
Praktik prostitusi merupakan salah satu gejala sosial yang masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat mengenai dampak positif dan negatif dari keberadaannya tersebut. Bukan hanya mempengaruhi moral kehidupan masyarakat tersebut, namun dapat juga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya tindak pidana, seperti tindak pidana perkosaan dan pembunuhan yang rentan terjadi pada pelaku praktik prostitusi tesebut.
Pada dasarnya keterwujudan keadilan yang merupakan tujuan dari adanya hukum dapat dilihat dan dinilai dari terciptanya keamanan dan ketertiban yang dapat menjamin kebebasan setiap orang dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya, namun juga sekaligus mengawasi kebebasan tersebut agar tidak menganggu kebebasan dan kepentingan orang lain. Ketertiban yang menjadi perwujudan tujuan dari hukum tersebut terbentuk dari tercapainya kepastian hukum dengan adanya aturan hukum yang mengatur segala tindakan masyarakat. Keberadaan praktik prostitusi pun selayaknya tidak terlepas dari adanya ketentuan hukum yang mengaturnya sehingga tercapai kepastian hukum sebagai jalan menuju terciptanya ketertiban dalam masyarakat tersebut. Keberadaan prostitusi di kota – kota besar dinilai sebagai sesuatu yang sudah menjadi kebutuhan dari masyarakat tersebut. Hal ini memang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat tersebut. Begitu juga dengan keberadaannya di Kota Padang.
Keberadaan praktik prostitusi di Kota Padang mendapat perlakuan khusus dari pemerintah setempat. Hal ini ditandai dengan lahirnya peraturan perundang – undangan dalam bentuk Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 10 ayat (2) berbunyi : “Setiap orang dilarang menjajakan dirinya sebagai pelacur atau berupaya mengadakan transaksi seks.” Di samping itu, dalam Perda Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat tersebut juga memuat mengenai Ketentuan Pidana pada BAB XI, Pasal 14 yang berbunyi : Pelanggaran atas ketentuan Pasal 2, 3, 4, 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan ayat (6), 8 ayat (1) dan ayat (2), 9 dan Pasal 10, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan Perda Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 ini, maka dapat dikatakan bahwa praktik prostitusi telah dinyatakan sebagai tindak pidana, atau dengan kata lain telah dilakukan kriminalisasi terhadap tindak prostitusi tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ketentuan mengenai prostitusi belum pernah ada di dalam ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, sehingga tindak prostitusi tidaklah dinyatakan sebagai tindak pidana. Kriminalisasi yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan.[2]
Sebagaimana yang kita ketahui dan dapat kita lihat adalah dalam penerapan ketentuan Perda Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 ini jelas belum maksimal. Hal ini ditandai dengan keberadaan komplek atau beberapa ruangan yang saling berdekatan dan digunakan untuk praktik prostitusi, yakni di komplek Pasar Raya Kota Padang lantai 2 (dua). Keberadaan komplek prostitusi ini telah ada jauh sebelum lahirnya ketentuan hukum, Perda Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 ini. Namun setelah ± 4 (empat) tahun Perda ini diberlakukan, ternyata masih tidak dapat menghapuskan keberadaan lokasi prostitusi di komplek Pasar Raya Kota Padang lantai 2 (dua) ini.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul:PENERAPAN PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT TERHADAP KRIMINALISASI PRAKTIK PROSTITUSI DI KOTA PADANG”
1.      Kerangka Teoritis

Perbudakan seksual perempuan hadir di semua situasi di mana perempuan tak dapat mengubah kondisi langsung keberadaan mereka; di mana terlepas dari bagaimana mereka masuk ke dalam kondisi – kondisi tersebut, mereka tak dapat keluar darinya; dan di mana mereka menjadi objek kekerasan dan eksploitasi seksual. Artinya bahwa integritas perempuan sebagai seorang manusia, sebagai seorang individu, sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, telah dipecahkan.[1]
Keberadaan praktik prostitusi tidak terlepas dari peranan negara melalui segala aturaan hukum yang dapat dibuatnya. Bagi pelacur, kenyataan yang ada bahwa sementara negara dan pemerintahan setempat mengklaim dirinya merupakan pelindung tata hukum dan moral, pada saat yang sama mereka mengeruk keuntungan dari kerja kaum pelacur melalui pajak yang dibebankan pada  rumah – rumah bordil dan pusat – pusat hiburan, dan melalui denda yang dikenakan pada pelacur jalanan.[2]
Adanya ketentuan hukum yang mengatur keberadaan praktik prostitusi ini diharapkan mampu menciptakan kepastian hukum sebagai jalan menuju terciptanya ketertiban dalam masyarakat tersebut. Sebagaimana pengaturan dalam Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, telah secara jelas menyatakan keberadaan praktik prostitusi di Kota Padang sebagai suatu tindak pidana.
Menurut Simons (Hazewinkel-Suringa. 1973 : 65), bahwa strafbaar feit (terjemahan harafiyah : peristiwa pidana) ialah perbuatan yang melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan seseorang yang mampu bertanggung jawab.[3]
Di samping itu, Vos (1950 : 25) memberikan definisi yang singkat bahwa strafbaar feit ialah kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang – undangan diberikan pidana.[4]
Pada dasarnya keterwujudan keadilan yang merupakan tujuan dari adanya hukum dapat dilihat dan dinilai dari terciptanya keamanan dan ketertiban yang dapat menjamin kebebasan setiap orang dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya, namun juga sekaligus mengawasi kebebasan tersebut agar tidak menganggu kebebasan dan kepentingan orang lain.
Eksistensi hukum pidana pada dasarnya meliputi nilai – nilai pokok :
1.      Keamanan dan ketertiban sebagai tujuan langsung setiap hukum pidana, yang mutlak harus dapat dicapai.
2.      Kesadaran warga masyarakat akan makna dan hakikat hukum yang kemudian dapat menjadi sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah, sebagai tujuan akhir hukum pidana.
3.      Keserasian antara kejasmanian (aspek lahir) dan kerohanian (aspek batin) maupun kebaruan dan kelestarian harus dicapai dalam penerapan hukum pidana.[5]
Dari segi batin, hukum pidana sebagai suatu perasaan pikiran atau kehendak yang yang tersembunyi dalam kalbu masing – masing orang dan tidak mungkin terlihat seluruhnya oleh orang dalam hukum pidana berwujud sebagai kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku peristiwa pidana, setimpal dengan kerugian yang telah diakibatkan dengan segala latar belakangnya.
Hukum pidana itu pada dasarnya menjamin ketertiban kehidupan masyarakat, dalam arti mengutamakan pengaturan kepentingan umum di atas kepentingan individu tertentu.
Hukum pidana bertujuan untuk dapat membina kesadaran umum dalam bersikap dan bertindak yang serasi baik berdasarkan aspek lahir maupun aspek batin, karena hanya dengan sikap tindak yang demikian sajalah keentingan umum maupun kepentingan perorangan secara langsung dapat terjaga dan terlindungi dari berbagai gangguan peristiwa pidana.

2.      Kerangka Konseptual
Untuk lebih terarahnya penulisan proposal ini, di samping perlu adanya kerangka teoritis juga diperlukan kerangka konseptual yang merumuskan definisi-definisi dari peristilahan yang digunakan sehubungan dengan judul yang diangkat, yaitu:
a.       Pelacuran
Pelacuran atau yang dikenal juga dengan istilah prostitusi merupakan pertukaran hubungan seksual dengan uang atau atau hadiah – hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.[6]
Menurut Encyclopedia Britannica (1973–74), pelacuran adalah praktek hubungan seksual sesaat yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas), untuk imbalan berupa upah. Dengan demikian pelacuran diidentikkan dengan tiga unsur utama : pembayaran, promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional.[7]
b.      Kriminalisasi
Kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.[8]
c.       Pidana dan pemidanaan
Dalam  Bahasa  Belanda,  istilah  pemidanaan  dan  penghukuman  disebut dengan  Straf.  Ada  para  ahli  yang  menyebut  pidana,  ada  juga  yang  menyebut  dengan  hukuman.  Pidana  dan  hukuman  dalam  pengertian  umum berarti  suatu  sanksi  yang  membuat  derita  atau  nestapa  yang  sengaja ditimpakan   kepada   seseorang.
Prof. W.P.J  Pompe,  menyatakan  pidana  adalah  keseluruhan  dari  peraturan-peraturan  yang  sedikit  banyak  bersifat  umum  yang  di abstrahir  dari  keadaan yang  bersifat  konkret.[9]
Prof.  Van  Hamel,  menyatakan  arti  dari  pidana  adalah  suatu  penderitaan khusus,  yang  telah  dijatuhkan  oleh  kekuasaan  yang  berwenang  untuk menjatuhkan  pidana  atas  nama  negara  sebagai  penanggungjawab  dari ketertiban  hukum  umum  bagi  seorang  pelanggar,  yakni  semata-mata  karena orang  tersebut  telah  melanggar  suatu  peraturan  hukum  yang  harus  ditegakkan  oleh  negara.[10]
Prof.  Simons,  menyatakan  pidana  atau  straf  adalah  suatu  penderitaan yang  oleh  Undang-undang  pidana  telah  dikaitkan  dengan  pelanggaran terhadap  suatu  norma,  yang  dengan  suatu  putusan  hakim  telah  dijatuhkan bagi  seseorang  yang  bersalah.[11]
Algraa Janssen, merumuskan pidana atau straaf sebagai alat yang yang dipergunakan  oleh  penguasa  (hakim)  untuk  memperingatkan  mereka  yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya yaitu seandainya ia tidak melakukan suatu tindak pidana.[12]
Van Kant, mengatakan bahwa hukum pidana mengancam pidana kepada pelanggar  hukum  dengan  penderitaan  yang  khusus  dan  menjatuhkan penderitaan  pidana  itu  kepada  pelanggar.[13]
Dari  rumusan  di atas  dapat  diketahui  pidana  hanya  merupakan  suatu penderitaan  atau  suatu  alat  belaka.   Ini  berarti  pidana  hanya  merupakan  suatu  tujuan  dan  tidak  mungkin  dapat  mempunyai  tujuan.  Hal  tersebut  perlu dijelaskan agar orang Indonesia jangan sampai terbawa arus kacaunya cara berpikir para ahli Belanda, yang secara harfiah telah menerjemahkan perkataan doel der straf dengan tujuan dari pidana padahal sebenarnya tujuan dari pemidanaan.
Prof. Roeslan Saleh, SH  mengatakan  pidana  adalah  reaksi  atas  delik  yang banyak  berwujud  nestapa  yang  sengaja  ditimpakan  negara  pada  pembuat delik.[14]


[1] Thanh-Dam Truong. Seks, Uang dan Kekuasaan. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta. 1992. Hlm. 18
[2] Ibid. Hlm. 94
[3] Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid, S.H. Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta. 1995. Hlm. 244
[4] Ibid., Hlm. 225
[5] Purnadi Purbacaraka, S.H. dan A.Ridwan Halim, S.H. Filsafat Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, Rajawali Pers, Jakarta. 1995. Hlm. 1
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1990. Hlm. 703
[7] Thanh-Dam Truong. Seks, Uang dan Kekuasaan. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta. 1992. Hlm. 15
[8] Ibid., Hlm. 465
[9]  P.A.F Lamintang.  Dasar-Dasar Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1997.  hlm. 3.
[10]  Aria Zurnetti,dkk. Diktat Hukum Pidana.  Fakultas Hukum Unand. Padang. 2002.  hlm. 115.
      [11]  Ibid.
      [12]  Ibid.
      [13]  Ibid.
      [14]  Ibid., hlm. 116.



[1]  Pelacuran <http://wikipedia.org/pelacuran>, diakses tanggal 25 Mei 2010 pada pukul 11.30 WIB
[2] Ibid., Kriminalisasi, diakses tanggal 26 Mei 2010 pada pukul 10.44 WIB

Share:

0 comments:

Post a Comment

Penggelapan (Buku II Bab XXIV KUHP)

BAB XXIV PENGGELAPAN Pasal 372 Baragsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian a...

Pages

Ads by Google

Get This Pop-up Window

Your Adsesne Code Here


http://fadhliihsan92.blogspot.com

Search This Blog

Powered by Blogger.

Blog Archive