I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang yang melakukan pembangunan di segala
bidang. Usaha yang dilakukan meliputi pembangunan ekonomi, perbaikan sistem
publik, melakukan usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
pembangunan di bidang hukum. Seperti yang dimuat dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), sebagai negara hukum maka
Indonesia mempunyai serangkaian peraturan atau hukum supaya kepentingan
masyarakat dapat terlindungi.
Dalam
pelaksanaannya penegakan hukum tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan. Berbagai perubahan senantiasa terjadi, baik
secara perlahan sehingga hampir luput dari peninjauan biasa, atau terjadi
begitu cepat sehingga sukar untuk menyatakan dengan pasti adanya lembaga
kemasyarakatan yang menetap.[1]
Di
Indonesia, penegakan hukum dititik beratkan kepada aparat penegak hukum. Aparat
penegak hukum yang mempunyai peran penting dalam menjalankan penegakan hukum
pidana adalah kepolisian. Institusi kepolisian merupakan suatu institusi yang
dibentuk negara guna menciptakan ketertiban dan keamanan ditengah masyarakat
baik dalam hal pencegahan, pemberantasan, atau penindakan. Dalam menjalankan
penegakan hukum tersebut POLRI diberikan kewenangan berdasarkan UU Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan
UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Salah satu contoh kewenangan yang diberikan adalah untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan.
Jika
dilihat dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang
selanjutnya disebut KUHAP, yakni dalam Pasal 1 angka (1) KUHAP, penyidik adalah
pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka (4) KUHAP mengatakan penyelidik adalah pejabat
polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penyelidikan. Dari penjelasan kedua pasal tersebut dapat
dikatakan bahwa institusi kepolisian merupakan suatu lembaga yang diberi
wewenang oleh negara yang diharapkan dapat menjalankan pelaksanaan penyelesaian
tindak pidana.
Penyidikan
dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada taraf pertama
harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kemudian
dilimpahkan kepada penuntut umum mengenai tentang tindak pidana apa yang telah
dilakukan serta siapa tersangkanya. Apabila berdasarkan keyakinan tersebut
penuntut umum berpendapat cukup adanya alasan untuk mengajukan tersangka ke
depan sidang pengadilan, maka ia akan mengajukan perkara tersebut ke sidang
pengadilan untuk segera disidangkan. Di sini dapat kita lihat bahwa penyidikan
suatu pekerjaan yang dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang
selanjutnya dapat dipakai oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan
tersangka beserta bukti-bukti yang ada kedepan persidangan.[2]
Pelaksanaaan
tugas Kepolisian juga telah disusun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002, dapat dilihat bahwa tugas Kepolisian yaitu:
1.
Memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat;
2.
Menegakkan hukum;
3.
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.
Kejahatan
dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang selalu dihadapi oleh
setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,
bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi tetapi sulit diberantas
secara tuntas.[3]
Kejahatan terjadi setiap hari, terutama kejahatan terhadap harta benda, salah
satu contohnya adalah kejahatan terhadap kendaraan bermotor roda dua.
Terjadinya
tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua dapat dikaitkan dengan adanya tindak pidana penadahan kendaraan
bermotor roda dua. Di dalam KUHP, tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal
480 KUHP. Tindak pidana penadahan berdasarkan KUHP merupakan gabungan antara
delik sengaja (mengetahui) barang tersebut merupakan hasil dari kejahatan dan
delik kelalaian (culpa) ditandai
dengan kata-kata “patut dapat mengetahui” barang tersebut berasal dari
kejahatan.
Penadah
tidak harus mengetahui tentang sifat dari kejahatan karena kejahatan mana benda
yang dibelinya itu diperoleh.[4]
Untuk adanya kesengajaan (seperti yang diisyaratkan dalam Pasal 480 KUHP),
kiranya cukup jika pelaku mempunyai semacam penglihatan atau semacam
pengetahuan mengenai hal-hal bagi tindak pidana penadahan yang dapat disamakan
dengan pengertian mengetahui.[5]
Tindak pidana penadahan dapat dilakukan dengan sengaja dan juga dengan culpa. Jadi, penadah dapat memperkirakan
barang yang dibeli, ditukar dan seterusnya itu berasal dari kejahatan karena
harganya terlalu murah.[6]
Penadahan
termasuk delik pemudahan, karena dengan adanya penadah, memudahkan orang untuk
melakukan kejahatan, misalkan pencurian. Jika ada yang menadah tentu akan
memudahkan orang yang mencuri karena ada tempat penyaluran hasil curian,
terlebih jika pencurian itu terorganisir.[7]
Dalam menjalankan tindakannya, penadah mendapatkan objek tadahan berupa
kendaraan bermotor roda dua tersebut dengan harga yang jauh lebih murah dari
harga pasar dan transaksinya biasa dilakukan pada waktu malam hari di tempat
yang jauh dari keramaian.
Selain itu dengan maraknya penjualan
suku cadang bekas kendaraan bermotor roda dua
oleh pedagang kaki lima, tidak menutup kemungkinan suku cadang yang
dijual oleh pedagang kaki lima tersebut diperoleh dari pelaku pencurian
kendaraan bermotor roda dua. Suku cadang yang dijual tersebut dijual secara
tidak resmi dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasar. Untuk itu
perlu dilakukan penyelidikan terhadap pedagang kaki lima yang menjual suku
cadang bekas kendaraan motor roda dua tersebut, sebab jika terus dibiarkan maka
tindak pidana penadahan kemungkinan akan terus berlanjut, hal ini akan
berbanding lurus dengan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor.
Berdasarakan data yang diperoleh
dari Satuan Reserse Kriminal Polresta Padang, sejak bulan Januari 2011 sampai
Desember 2013 terdapat 126 laporan kasus penadahan kendaraan bermotor roda dua
di Kota Padang. Namun hanya 22 kasus yang masuk ke tahap penyidikan, 104 kasus
lainnya masih berada dalam tahap penyelidikan.[8]
Untuk
masuk ke tahap penyidikan, harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu. Namun,
banyaknya laporan yang masuk tidak berbanding lurus dengan penyelesaiannya.
Pihak kepolisian menemukan banyak kendala dalam mengungkap praktik tidak pidana
penadahan kendaraan bermotor roda dua, hal ini dapat dilihat dari masih
rendahnya jumlah kasus yang berada dalam tahap penyidikan.[9]
Berdasarkan
uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji mengenai pelaksanaan penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik POLRI terkait dengan tindak pidana penadahan
kendaraan bermotor roda dua. Untuk itu penulis mengambil judul: “PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENADAHAN YANG
BERASAL DARI HASIL PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA (Studi di Satuan
Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Padang)”.
II. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1.
Kerangka
Teoritis
Merupakan
teori-teori yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini dan juga teori
yang memiliki pengaruh terhadap isi penelitian, yaitu:
Teori
tentang penegakan hukum, menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan
suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan.
Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum di sini tidak lain adalah
pikiran-pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-
peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau
pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang
(hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan.[1]
Menurut
Soerjono Soekanto, secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[2]
Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah
sebagai berikut:[3]
a.
Faktor hukumnya sendiri.
Yaitu
peraturan perundangan-undangan. Kemungkinannya adalah bahwa terjadi
ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang kehidupan
tertentu. Kemungkinan lain adalah ketidak cocokan peraturan perundang-udangan
dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
b.
Faktor penegak hukum.
Yaitu
pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum. Mentalitas petugas yang
menegakkan hukum antara lain yang mencakup hakim, polisi, pembela, petugas
pemasyarakatan dan seterusnya. Jika hukumnya baik tapi mental orang yang
bertanggung jawab untuk menegakkkan hukum tersebut masih belum mantap, maka
bisa menyebabkan terjadinya gangguan dalam sistem hukum itu sendiri.
c.
Faktor sarana dan fasilitas yang
mendukung penegakan hukum.
Jika
hanya hukum dan mentalitas penegak hukumnya yang baik namun fasilitasnya kurang
memadai maka bisa saja tidak berjalan se-
suai rencana.
d.
Faktor masyarakat.
Yakni
lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. Faktor masyarakat di
sini adalah bagaimana kesadaran hukum masyarakat akan hukum yang ada.
e.
Faktor kebudayaan.
Yaitu
sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup. Bagaimana hukum yang ada bisa masuk ke dalam dan menyatu dengan
kebudayaan yang ada sehingga semuanya berjalan dengan baik.
Kelima
faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan
hukum.[4]
2. Kerangka
Konseptual
Untuk
menghindari kerancuan dalam arti pengertian, maka perlu kiranya dirumuskan
beberapa konsep. Salah
satu cara menjelaskan kosep adalah definisi. Adapun konsep-konsep
yang penulis maksud meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
Penyidik dan Penyidikan
Penyidik sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 1 jo Pasal
6 ayat (1) KUHAP adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
Dari pengertian di atas maka yang melakukan tugas sebagai
penyidik adalah:
1)
Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia
2)
Pejabat
Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Sedangkan
penyidikan dijelaskan di dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. (Dapat dilihat juga dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia).
b.
Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang apabila
dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan hukuman.[5]
c.
Tindak Pidana Penadahan
Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal 480,
yang berbunyi:
Dipidana dengan penjara empat tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
Ke-1 Barangsiapa membeli, menyewa, menukar,
menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau
menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
diperoleh dari kejahatan penadahan;
Ke-2 Barangsiapa menarik keuntungan dari hasil
sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh
dari kejahatan.
d.
Kendaraan Bermotor
Pengertian
kendaraan bermotor dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan adalah setiap kendaraan yang digerakkan
oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel.
[1] Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan
Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta,
hlm. 24.
[2] Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 5.
[3] Ibid., hlm. 8.
[4] Ibid., hlm. 9.
[5]
R. Soesilo, 1997, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan
Delik-Delik KUHAP, Politea, Bogor, hlm. 216.
[4]P.A.F Lamintang, 2009, Delik-delik Khusus: Kejahatan terhadap Harta
Kekayaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 370.
[5] Ibid., hlm. 371.
[6]Andi Hamzah, 2009, Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di
dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 131.
[7] Ibid., hlm. 133.
[8] Data Laporan Tindak Pidana Kota
Padang di Satuan Reserse Kriminal Polresta Padang, diperoleh pada tanggal 28
Februari 2014 pukul 14.00 WIB.
[9] Wawancara dengan Anggota Unit VI
Opsnal Satuan Reserse Kriminal Polresta Padang, Briptu Febri Hudra Piza pada tanggal
14 Februari 2014 pukul 14.10 WIB
0 comments:
Post a Comment