Blog ini digunakan guna berbagi segala jenis ilmu pengetahuan yang akan dipahami oleh semua kalangan terutama ilmu mengenai Hukum yang dipelajari di Indonesia

Sistem Pemerintahan Dan Penjelasannya


1.      Sistem Pemerintahan Parlementer  
Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan yang luas diterapkan di seluruh dunia. Tercatat dalam sejarah, Inggris adalah tempat kelairan sistem pemerintahan parlementer. Oleh karena itu, Douglas V. Varney mengingatkan bahwa analisis sistem pemerintahan parlementersebaiknya dimulai dengan mengacu kepada berbagai lembaga dalam sistem politik Inggris.[1] Tidak hanya merujuk kepada lembaga-lembaga politik, analisis juga mengacu kepada pengalaman Inggris dalam membangun sistem parlementer. Pentingnya rujukan terhadap pengalaman Inggris dikemukakan oleh Strong, “the history of the growth of the Cabinet system in Britain is one of the most instructive studies in the whole realm of the science of government”.[2]
Berdasarkan sejarah perkembangan sistem pemerintahan Inggris, sistem pemerintahan parlementer tumbuh melalui suatu perjalanan sejarah ketatanegaraan Inggris yang panjang, ratusan tahun.[3] Munculnya cabinet Modern Inggris umumnya dikaitkan dengan kekuasaan Partai Whigs era pemerintahan William Walpole (1721-1742).[4] Sebelumnya, raja menggabungkan kekuasaan negara (law-giver, the executor of the law, and the judge) dalam jabatannya. Dibawah kekuasaan William I dibentuk the Great Council untuk membantu raja menjalankan ketiga kekuasaan itu.
Dengan proses evolusi yang amat lamban,  the Great Council tumbuh menjadi cikal bakal institusi modern pemerintahan Inggris. Pertumbuhan sistem parlementer dapat dilihat dari beberapa konvensi ketatanegaraan sebagai bagian dari konstitusi (unwritten constitution) Inggris.[5] Terkait sejarah perkembangan itu S.C. Ilber dan S.C. Carr dalam “Parliament History, Constitution, and Practice” menyatakan:
The history of English parliament may be roughly divided into four great periods: the period of the medieval parliament, of the parliament of 1295 became the model and type; the period of Tudors and Stuars, having for its central portion of the time of the conflict king and parliament, between prerogative and privilege; the period between revolution of 1688 and the Reform Act of 1832; and the modern period which began in 1832.[6]

Selain itu, Douglas V. Varney menyatakan bahwa evolusi menuju sistem pemerintahan parlementer berlangsung melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas seluruh sistem politik dan sistem kenegaraan; kedua, muncul sebuah majelis yang menentang hegemoni raja; ketiga, majelis mengambil alih tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen sehingga raja kehilangan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya.[7]
Untuk mendalami sistem pemerintahan parlementer, tidak cukup hanya dengan memerhatikan parlemen sebagai objek utama yang diperebutkan. Menurut Djokosoetono, sistem parlementer merupakan sistem yang ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggung jawab kepada parlemen) ditambah dengan overwicht (kekuasaan lebih) kepada parlemen.[8] Dengan argumentasi itu, sistem parlementer di dasarkan landasan bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi (parliament is sovereign),[9] atau dalam bahasa A.V. Dicey Parliamentary Supremacy.[10] Karena landasan demikian, Sartori menambahkan:
Parliamentary system do not permit a separation of power between parliament and government: they are all bassed on legislative-executive power sharing. Which also, to say that all the system that we call parliamentary require governments to be appointed, suported and, as the case may be, dismissed, by parliamentary vote.[11]

Keseimbangan yang harus dibangun oleh eksekutif dan legislatif dijelaskan T.A. Legowo sebagai berikut:
Dalam sistem parlementer, petinggi-petinggi maupun anggota-anggota eksekutif dan legislatif mempunyai konstituensi yang sama. Jika partai berkuasa dikeluarkan (voted out) dari badan legislatif, jajaran eksekutif juga berubah. Karena itu, kerja sama atau kooporasi antara eksekutif dan legislatif diperlukan agar pemerintah dapat bertahan dan efektif dalam melaksanakan program-programnya.[12]
Lebih elaboratif dibandingkan dengan pendapat di atas, Alan R. Ball dan Guy Peters merinci karakter sistem parlementer sebagai berikut:
1.      There is a nominal head of states whose functions are chiefly formal and ceremonial and whose political influence is limited. This head of state may be a president, as in Germany, India, and Italy, or a monarh, as in Japan, Sweden and The United Kingdom.
2.      The political executive (prime minister, chancellor, etc), together with the cabinet, is a part of the legislature, selected by legislature, and can be removed by the legislature if  the legislature withdraws its support.
3.      The legislature is elected for varying periods by the electorate, the election date being chosen by the formal head of state on the advice of the prime minister or chancellor.[13]
Dari semua pendapat yang mengemukakan karakter sistem pemerintahan parlementer, pendapat yang dikemukakan Douglas V. Varney dalam tulisan “Parliamentary Government and Presidential Government” dapat dikatakan sebagai karakter sistem parlementer yang paling elaboratif. Verney mengemukakan 11 karakter sistem pemerintahan parlementer, yaitu:
1.      The assembly becomes a parliament.
2.      The executive is divided into two parts.
3.      The head of state appoints the head of government.
4.      The head of government appoints the ministy.
5.      The ministry (or government) is a collective body.
6.      Ministers are usually members of parliament.
7.      The government is politically responsible to the assembly.
8.      The head of government may advise the head of state to dissolve parliament.
9.      Parliament as a whole is supreme over its constituent parts, government and assembly, neither or which may dominate the other.
10.  The government as a whole is only indirectly responsible to the electorate.
11.  Parliament is the focus of power in the political system.

2.      Sistem Pemerintahan Presidensial
Jika sistem pemerintahan parlementer terkait dengan perkembangan sistem pemerintahan Inggris, sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dipisahkan dari Amerika Serikat. Dalam literatur dinyatakan, Amerika Serikat tidak saja merupakan tanah kelahiran sistem presidensial, tetapi juga contoh ideal karena memenuhi hampir semua kriteria yang ada dalam sistem pemerintahan presidensial. Misalnya, Strong menyatakan, “the principle of the non-parliamentary of fixed executive is most perfectly illustrated in the case of the United State of America”.[14] Menguatkan pendapat itu, Ball & Peters menyatakan, “Amerika Serikat merupakan the outstanding example of the presidential form of government”.[15]
Meski tidak setegas Strong dan Ball & Peters, Asshiddiqie mengemukakan bahwa Amerika Serikat sering disebut sebagai salah satu contoh ideal pemerintahan presidensial di dunia.[16] Oleh karena itu, Verney mengingatkan bahwa kajian terhadap sistem presidensial sebaiknya dimulai dengan menelaah sistem politik Amerika Serikat.[17] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan:
Latar belakang negara Amerika Serikat menganut sistem presidensial adalah kebencian rakyat terhadap pemerintahan Raja George III sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris, maka mereka lebih suka mengikuti jejak Montesquieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan, sehingga tidak ada kemungkinan kekuassaan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalam Trias Politica itu terdapat sistem Check and Balance.[18]

Setelah proses kelahiran itu, sistem pemerintahan republik yang dipimpin oleh seorang presiden muncul di beberapa belahan dunia. Misalnya di Eropa, presiden pertama kali muncul di Prancis. Meletusnya revolusi (14 Juli 1789, hari penyerbuan penjara Bastile) yang mengakhiri masa Ancient regime tidak langsung melahirkan bentuk republik dengan presiden sebagai kepala negara. Dalam periode liberal (1789-1792), monarki absolut diganti dengan monarki konstitusional dengan Lodewijk XVI sebagai raja memegang kekuasaan ekesekutif.[19]
Runtuhnya monarki konstitusional (1792) menjadi awal periode radikal yang melahirkan bentuk Republik Pertama, namun belum muncul jabatan presiden. Jabatan presiden baru muncul pada awal terbentuknya Republik Kedua (1848-1851) dengan Louis Napoleon sebagai presiden. Namun setahun kemudian, diubah statusnya menjadi Kaisar Napoleon III (1852) yang terus memerintah sampai Perancis dikalahkan oleh Jerman (1870). Jabatan Presiden kembali muncul di masa Republik Ketiga (1875-1940) dan sejak berakhirnya Perang Dunia II pemerintahan republik yang dipimpin presiden terus digunakan Perancis sampai sekarang.
Perkembangan sistem Presidensial di benua Afrika dinyatakan oleh Nicolas van de Walle berikut ini:
...it is a fact that of Africa’s 45 multiparty systems, only Boswana, Leshotho, Mauritius and South Africa are parliamentary Regimes. The other states have presidential constitutions, except for Swaziland, which is a monarchy. It should be noted that as many as half of the states in the region started out as parliamentary regimes and changed soon after independence.[20]

Di Asia, pemerintahan republik yang dipimpin oleh seorang presiden dicangkokkan Amerika Serikat Di Filipina pada tahun 1935. Peristiwa itu terjadi ketika Filipina memperoleh kemerdekaan terbatas dalam bentuk The Commonwealth of the Philipines dari Amerika Serikat. J.T. Sidel menekankan bahwa mempelajari sistem pemerintahan Filipina harus tetap memberikan perhatian kepada istitusi atau sistem yang diwariskan oleh Amerika Serikat.[21] Ditambahkan Bastian van de Loo, di Filipina a major institutional legacy of American colonial rule has been the adaptation of a presidential type of governing system.[22]
Dengan semakin luasnya negara-negara yang menganut sistem pemerintah republik yang dipimpin oleh seorang presiden, mulai muncul kajian-kajian tentang praktik sistem pemerintahan presidensial. Misalnya, pada era 1940-an muncul kajian t5entang perbandingan antara sistem pemerintah parlementer dengan sistem pemerintahan presidensial. Pada era 1950-an sampai 1970-an, kajian sistem pemerintahan presidensial lebih banyak menyoroti proses demokrasi dalam pelaksanaan fungsi legislasi pada sistem presidensial di Amerika Serikat. Menurut Scott Mainwaring, sepanjang periode 1960-an sampai pertengahan 1980-an, sedikit sekali kajian tentang sistem pemerintahan presidensial di luar praktik yang terjadi di Amerika Serikat.[23]
Era 1980-an sampai dengan 1990-an menjadi periode yang paling luas mengkaji sistem pemerintahan presidensial. Pada periode inilah kajian mulai mengarah pada praktik  sistem pemerintahan presidensial di beberapa negara terutama di Amerika Latin.
Aulia Rachman mengungkapkan periode 1990-an sampai awal abad ke-21 terdapat empat gelombang pemikiran dan studi mengenai sistem pemerintahan presidensial, yaitu:
Gelombang pertama, ditandai oleh satu variabel penjelas (explanatory variable), yaitu bentuk pemerintahan (tipe rezim) dan variabel perantara (dependent variable) yakni keberhasilan kosolidasi demokrasi (the success of democratic consolidation)

Gelombang kedua, ditandai dengan variabel penjelas (explanatory variable), yaitu tipe rezim ditambah dengan sistem kepartaian dan/ atau leadership powers dan variabel perantara lain yaitu good governance yang pada umumnya bertentangan dengan variabel perantara ‘konsolidasi demokrasi’ (democratic consolidation).

Gelombang ketiga, berbeda dengan gelombang pertama dan gelombang kedua, pada gelombang ketiga ini ditandai dengan pengaruh teori-teori ilmu politik. Dalam hal ini, manfaat-manfaat rezim presidensial (dan rezim parlementer) tidak lagi menjadi satu-satunya fokus studi.

Gelombang keempat, penguatan paradigma good governance semakin mensyaratkan perubahan-perubahan struktural dan fungsi pada level sistem pemerintahan.[24]

Jika sejarah perkembangan sistem parlementer lebih menggambarkan perjuangan mengurangi kekuasaan absolut yang memiliki raja, perkembangan sistem presidensial lebih banyak ditandai dengan masalah dasar, yaitu bagaimana mengelola hubungan antara presiden dengan lembaga legislative. Juan J. Linz menggambarkan sebagai berikut:

But what the most striking is that in  a presidential system, the legislators, especially when they represent cohesive, disclipined parties that offer clear ideological and political alternatives, can also claim democratic legitimacy. This calim is trown into high relief when a majority of legislature represent a political option opposed to the one the president represents. Under such circumtances, who has the stronger claim to speak on behalf of the people: the president, or the legislative majority that opposes his policies.[25]

Jika partai mayoritas di lembaga legislative sama dengan partai politik pendukung presiden atau mayoritas partai politik di lembaga legislative mendukung presiden, sistem pemerintahan presidensial mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter. Terkait dengan isu itu, Arend Lijphart menegaskan:

Majoritarianism means the concentrationof political power in the hand of majority,  and if the precidencyis the repository of this power, It means a very powerful president; in other words, the logic of presidentialism is that implies very strong, perhaps even overbearing, president.[26]

Dari beberapa karakteristik sistem presidensial yang dituls oleh para ahli, pendapat Ball dan Peters termasuk yang paling jelas memperhadapkan posisi presiden dengan lembaga legislative. Dalam buku “Modern Politics and Government” dikemukakan karakter sistem presidensial sebagai berikut:
1.      The president is both nominal and political head of state.
2.      The president is not elected by the legislature, but is directly elected by the total electorate. (There is an electoral college in the United States, but it is of political significance only in that each states votes as a unit and hence the system tends to disadvantages small parties).
3.      The president is not part of the legislature, and he cannot be from office by the legislature except through the legal precess of impeachment.
4.      The president cannot be dissolve the legislature and call a general election. Ussually the president and the legislature are  elected for mixed terms.[27]
Lebih elaborative dibandingkan dengan Ball dan Peters, Asshiddiqie mengemukakan Sembilan karakter sistem pemerintahan presidensial sebagai berikut:
1.      Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislative.
2.      Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja.
3.      Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan.
4.      Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bahawan yang bertanggung jawab kepadanya.
5.      Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya.
6.      Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen.
7.      Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi.
8.      Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat.
9.      Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementary yang terpusat pada parlemen.[28]

Tidak jauh berbeda dari Asshiddiqie, Verney dalam “Parliamentary Government and Presidential Government”,Mengemukakan 11 karakteristik sistem presidensial, sebagai berikut:
1.      The assembly remains as assembly only.
2.      The executive is not divided but is a president elected by the people for a definite term at the time of assembly elections.
3.      The head of government is the head of state.
4.      The president appoints head of departements who are is subordinate.
5.      The president is the sole of executive.
6.      Members of assembly are not eligible for office in the administration and vice versa.
7.      The executive is responsible to the constitution.
8.      The president cannot dissolve or coerce the assembly.
9.      The assembly is ultimately supreme over the other branches of government and there is no fusion of the executive and legislative branches in a parliament.
10.  The executive is directly responsible to the electorate.
11.  There is n focus of power in political system.[29]

3.      Sistem Pemerintahan Semi-Presidensial
Membahas sistem pemerintahan semi-presidensial tidak mungkin lepas dari kajian mengenai perkembangan ketatanegaraan Perancis. Sejarah itu dimulai ketika gedung pemerintahan Perancis dikuasai oleh tentara Aljazair tanggal 13 Mei 1958. Kejadian ini emenunjukkan semakin lemahnya pemerintahan Prancis di mata para koloni.
Sejak saat itu, secara resmi terbentuk Republik Kelima Prancis dengan sistem baru yang disebut oleh Maurice Duverger sebagai “A New Political System Model: A Semi Presidensial Government”.[30] Model baru itu sering juga disebut sebagai sistem pemerintahan campuran, atau Ivo D. Duchacek menyebutnya dengan hybrid system.. Dengan sistem pemerintahan baru ini M.J.C. Vile menyatakan:
The constitution of the Fifth Republic also incorporated another element of the nineteenth century liberal view of constitutionalism, but like the idea of balanced government, turned it into something very different in spirit and in practice.[31]

Secara umum, sistem pemerintahan semi-presidensial memisahkan pemilihan presiden dengan pemilihan lembaga legislatif. Menurut Sartori, semi-presidential system perform on a power sharing basis: the president must shar power with a prime minister; and in turn, the prime minister must obtain continuous parliamentary support.[32] Dengan adanya pembagian kekuasaan antara presiden dan perdana menteri maka akan terjadi dual-executive dalam pelaksanaan pemerintahan. Meski berbagi kekuasaan dengan perdana menteri, presiden diberi otoritas untuk memilih perdana menteri (president usually has the constitutional power to select prime minister).
Meski dipilih melalui pemilihan umum dan presiden memiliki kekuasaan cukup besar, Duverger mengakui bahwa dalam praktik mucul tiga varian, yaitu:
1.      Negara dengan presiden sebagai boneka seperti Austria, Irlandia, dan Islandia.
2.      Negara dengan kedudukan presiden yang sangat berkuasa, yaitu Prancis.
3.      Negara dengan kedudukan presiden dan pemerintah yang relatif seimbang, yaitu Republik Weimar, Finlandia, dan Portugal.


[1] Douglas V. Varney, 1992, Parliamentary Government and Presidential Government , dalam Parliamentary Versus Presidential  Government, Arend Lijphart, oxford University Press, hlm. 31.
[2] CF. Strong, 1972, Modern Political Constitution An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form, Sidwick & Jackson Ltd, London, hlm. 212.
[3] Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, Bandung, hlm. 101.
[4] Menurut Susan Child, Robert Walpole was the first to be called Prime Minister. He was First Lord of Treasury from 1721 to 1742., 1999, Politico’s Guide to Parliament, Lawman (India) Private Limited, hlm. 84.
[5] CF. Strong, 1972, Modern Political …, hlm. 212.
[6] S.C. Ilber dan S,.C. Carr, 1960, Parliament History, Constitution, and Practice, Oxford University Press, London, hlm. 1-2.
[7] Douglas V. Varney, op.cit., hlm. 34.
[8] R.M. Ananda B. Kususma, 2004, Sistem Pemerintahan Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi, Vol.1 No.1., Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, catatan kaki nomor 22, hlm. 156.
[9] Giovannt Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry Into Structures, Incentives and outcomes, New York University Press, Washington Square, New York, hlm.101..
[10] A.V. Dicey, 1897, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Macmillanand Co, London, hlm. 39.
[11] Giovanni Sartori, loc.cit.
[12] T.A. Legowo, 2002, Paradigma  Checks and Balances dalam hubungan Eksekutif-Legislatif, dalam laporan Hasil Konferensi Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia, International IDEA, Jakarta, hlm. 89.
[13] Alan R. Ball & B. Guy Peters, 2000, Modern Politics and Government, edisi ke-6, Macmillan Press Ltd, hlm. 62.
[14] C.F. Strong, 1975, Modern Political..., hlm. 233.
[15] Alan R. Ball & B. Guy Peters, 2000, Modern Politics ..., hlm. 63.
[16] Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, hlm. 316.
[17] Douglas V. Varney, 1992, Parliamentary Government and ...., hlm 39.
[18] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum T ata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN UI & Sinar Bakti, Jakarta, hlm. 177.
[19] Harun Alrasyid, 1999, Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 10.
[20] Nicolas van de Walle, 2003, Presidentialism And Clientelism in Africa’s Emeging Party Systems, dalam Journal of Modern African Studies, Vol. 41, No. 2, hlm. 308.
[21] J.T. Sidel, 1999, Capital Coercion and Crime, Bossim in the philipines , Stanford University Press, Stanford, hlm. 143.
[22] Bastian van de Loo, 2004, The failure of the philippine Presidential System, dalam Asia Europe Journal, No. 2, hlm. 262.
[23] Scott Mainwaring, 1993, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, hlm 199.
[24] Aulia A. Rachman, 2007, Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945: Studi Ilmiah tentang Rezim, Tipe Institusi, dan Tipe Konstitusi, Disertasi, Program Doktor Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 33-34.
[25] Juan J. Linz, 1992, The Perils of Presidensialismm dalam Arend Lijphart, Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press,
[26] Arend Lijphart, 1994, Presidentialism and Majoritarian Democracy,: Theoritical Observations, dalam Juan J. Linz & Arturo Valenzuela,  The Failure of Presidensial Democracy, the John Hopkins University Press, Baltimore and London, hlm. 101.
[27] Alan R. Ball & B. Guy Peters, 2000, Modern Politics and … hlm. 63.
[28] Jymly Ashiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata …, hlm. 316.
[29] Douglas V. Varey, 1992, Parliamentary Government and …, hlm. 40-47.
[30] Maurice Duverger, 1980, ‘A New Political System Model: A Semi Presidential Government’, dalam European Journal Of Political Research, Vol. 8, No.6.
[31] M.J.C. Vile, 1967, Constitusionalism and The  Separation of Powers, Claderon Press, Oxford, hlm. 61.
[32] Rod Hague, Martin Harrop, dan shaun Beslin, 1998, Comparative Government and Politics: An Introduction, MacMillan Press Ltd, hlm. 212.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Penggelapan (Buku II Bab XXIV KUHP)

BAB XXIV PENGGELAPAN Pasal 372 Baragsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian a...

Pages

Ads by Google

Get This Pop-up Window

Your Adsesne Code Here


http://fadhliihsan92.blogspot.com

Search This Blog

Powered by Blogger.

Blog Archive